PLURALISME DALAM BUDAYA INDONESIA
Oleh:
Herinto Sidik Iriansyah
Indonesia Dan Pluralisme
Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri
dari beraneka ragam masyarakat, suku bangsa, etnis atau kelompok sosial,
kepercayaan, agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda dari daerah satu dengan
daerah lain yang mendominasi khasanah budaya Indonesia.
Saat kita diajukan sebuah pertanyaan tentang negara
dengan jumlah pulau terbanyak, pastilah akan muncul jawaban Indonesia. Ya,
secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari
13 ribu pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau
dihuni oleh komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik sosial, budaya dan
bahkan nilai dan keyakinan serta agama yang berbeda. Hal ini tercermin dari 300
lebih kelompok etnis yang ada di Indonesia sehingga Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang memiliki keragaman budaya terbanyak. Dari berbagai macam suku
bangsa di Indonesia dengan beragam hasil kebudayaannya menjadikan tantangan dalam
menciptakan sebuah integrasi sosial. Dengan struktur sosial yang sedemikian
kompleks, sangatlah terbuka bagi Indonesia untuk selalu menghadapi konflik
antaretnik, kesenjangan sosial, dan sulit membangun integrasi secara tetap.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu penanaman konsep pluralisme.
Pluralisme dalam perspektif filsafat budaya merupakan
konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling
menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir
bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif
dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya.
Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun golongan tertentu
cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensi
komunitasnya. Sebenarnya pluralisme merupakan cara pandang yang bersifat
horisontal, menyangkut bagaimana hubungan antarindividu yang berbeda identitas
harus disikapi.
Sementara kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena
material, sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Kebudayaan dipelajari dan dialami
bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu
kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan
(mores ), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme
budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang
mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi
pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman
nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan
budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan
dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi
pengembangan diarahkan pada perwujudan budaya nasional yaitu perpaduan
keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat,
guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan
suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat
hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai karena
diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan
berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya
sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang
diunggulkannya. Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup
berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah
dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat
majemuk (pluralistic society). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan
sosial dan semboyan Bhinneka Tunggal Eka (berbeda-beda namun satu jua).
Kemajemukan Indonesia juga didukung dengan status negara ini sebagai negara
berkembang, yang selalu mengalami perubahan yang sangat pesat dalam berbagai
aspek kehidupan, baik perubahan sistem ekonomi, politik sosial, dan sebagainya,
dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak
menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.
Masyarakat Indonesia dan kompleks kebudayaannya,
masing-masing plural (jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai
kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri
dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak
bisa disatu kelompokkan dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan
mereka. Sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas,
mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam
unsur-unsurnya.
Realita Tak
Semanis Kerangka
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk
adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek
suku, ras, agama serta status sosial ini memberikan kontribusi yang luar biasa
terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa
Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali
mengalami pasang surut yang memprihatinkan. Bahkan dalam banyak kasus,
kerusuhan atau peperangan antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak
sedikit dan sulit untuk diatasi.
Adanya berbagai konflik ini biasanya mendekatkan kita
pada satu konsep Etnosentrisme. Secara formal, Etnosentrisme didefinisikan
sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok
lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok sendiri.
Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik
buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam
proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri.
Ditengah kerangka nation building, Indonesia mendapat
tantangan dari kepluralisme-an yang disandangnya. Setelah selama lebih kurang
satu abad “proyek” nation building diselenggarakan, nyatanya masih belum tuntas
juga. Stabilitas sosial dan politik yang relatif terpelihara sepanjang
pemerintahan orde baru sempat menimbulkan keyakinan bahwa proyek pembangunan
bangsa (nation building) nyaris usai. Namun saat ini proses nation building
tengah berbalik arah. Demokratisasi dan desentralisasi pascareformasi ternyata
tidak memperkuat sentimen kebangsaan, tetapi justru membuka ruang bagi
munculnya kembali sentimen-sentimen antipluralisme. Pancasila, yang sebelumnya
dipercaya sebagai sumber perekat bangsa, seperti kehilangan makna.
Hilangnya satu faktor kuat yang dapat menumbuhkan
kebanggaan kolektif bangsa atau pemersatu bangsa menjadi masalah krusial.
Sesekali perasaan menjadi satu muncul, seperti saat beberapa atlet negeri
memenangkan kejuaraan internasional, tsunami di Aceh, atau ketika Malaysia
“merampas” pulau dan budaya Indonesia. Namun semua itu hanya letupan api sesaat
yang mudah hilang. Pada momen lain, kebersamaan itu tercabik-cabik oleh konflik
horisontal antarkelompok, seperti saat pemilu. Pluralisme yang terkait dengan
karakter dan jatidiri bangsa, dalam realitas aktual juga menunjukkan suatu
“kebangkrutan moral” diberbagai bidang : korupsi, mafia hukum, tawuran dan
kemunafikan dalam politik. Hal ini tidak relevan untuk mengacu pada tata nilai
tradisional yang dianut oleh etnik nusantara dengan sikap dan tatakrama
terhadap sesama dan lingkungan.
Hal-hal diatas membuat rakyat kehilangan
kepercayaannya terhadap negara. Keberpihakan yang rendah dari elite-elite
terhadap nasib rakyat menjadi pemicunya. Di tengah krisis kepercayaan ini,
rakyat mencari perekat alternatif yang dapat menimbulkan rasa aman. Repotnya,
pengalaman yang mereka temukan bukanlah berskala nasional, tetapi lokal atau
partikular. Agama, bahasa, etnisitas, dan lokalitas adalah simbol-simbol yang
mereka pandang lebih konkret ketimbang simbol-simbol nasional, seperti Garuda
Pancasila, bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia Raya. Identitas pluralisme
tadi lebih mudah dicerna, dekat dengan kehidupan sehari-hari, cepat
membangkitkan kolektifitas, dan dapat menjadi faktor pendorong gerakan massa,
bahkan revolusi.
Pluralisme yang berjalan seiring pembangunan bangsa
juga masih menyisakan rangkaian produk aturan bermasalah, seperti Undang-Undang
ataupun Perda bernuansa syariah di sejumlah daerah. Memang, hal yang paling
sensitif ketika membicarakan isu pluralisme adalah agama. Meskipun konteks
pluralisme tidak hanya bersinggungan dan konsen pada bidang teologi, hanya saja
memperbincangkan segala ide maka dengan sendirinya akan berhubungan dengan
ideologi, dan suatu keharusan ideologi akan bergulat pada keyakinan, iman, dan
kepercayaan. Inilah agama, lembar terpenting dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
Sepanjang 2011, menurut data yang dihimpun oleh Center
for Religious and Cross-curtural Studies (CRCS) dan beberapa pemberitaan media
massa, setidaknya ada 36 kasus yang diduga berlatar belakang agama terjadi di
14 provinsi di Indonesia. Angka tersebut hanya menunjukan permasalahan ibadah
belum mencakup semua permasalahan yang dipicu oleh mispresepsi dan
miskomunikasi antar umat beragama (Republika, 2012). Pluralisme bukan
menganggap semua agama itu sama. Islam berbeda dengan Kristen, dengan Buddha,
dengan Katolik, ataupun dengan Hindu. Hal itu tidak bisa disamakan. Tak cukup
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki pandangan keagamaan lain,
situasi diperparah dengan munculnya berbagai RUU dan Perda yang menafikkan
keragaman sosio-kultural-religius masyarakat. Padahal dalam perundang-undangan
nasional ada batasan-batasannya. Moral, adat, dan agama tidak dapat dijadikan
hukum tertulis. Dalam hukum, ketiganya disebut sebagai norma otonom. Jika diformalkan,
berarti negara mencampuri urusan privat warganya.
Kesenjangan dan sakralisasi pembangunan yang dilakukan
pemerintahan sebelum-sebelumnya telah melahirkan banyak korban. Uniformalitas
terhadap budaya lokal dengan dalih kesatuan dan persatuan adalah contoh yang
nyata. Dalam konteks ini pemerintahan Orde Baru tidak mendudukan pembangunan
dengan konteks lokal, pembangunan hanya berorientasi pada pusat, sehingga
kemajuan yang dirasakan pusat tidak dirasakan oleh daerah. Perubahan paradigma
kekuasaan sentralis menjadi paradigma kekuasaan berbasis daerah (desentralis)
melalui kebijakan otonomi daerah memberikan nafas baru dalam upaya
membangkitkan kembali modal sosial berupa spirit lokalitas yang telah lama
hilang. UU No. 25 Tahun 1999 disusul kemudian UU No.32 Tahun 2004 membawa misi
penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi
ditingkat lokal, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah yang
sudah lama termarjinalkan pusat, serta membingkai kembali masyarakat Indonesia
yang majemuk. Namun pada kenyataannya sejak era reformasi, justru kemajemukan
masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia.
Permasalahan antaragama seperti dibahas sebelumnya, ras dan suku menjadi
contohnya.
Urbanisasi
dan industrialisasi Indonesia ternyata
malah memberi kecenderungan penguatan aspek-aspek antipluralisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota.
Ironisnya, kemajemukan ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat
kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga
kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda. Konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah
adalah pemerintah selalu di hadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka
emban; Pertama, membangun negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi
ikatan-ikatan primordial. Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan
ruang politik dan aspirasi masyarakat secara luas.
Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang
harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap
berada dalam konteks persatuan dan kesatuan nasional Indonesia (integrasi
nasional). Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah
untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi
kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan
dan pembangunan di daerah sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu:
Otonomi Daerah dan Integrasi Nasional.
Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan
dinamika masyarakat di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya
cenderung dianggap “kambing hitam”, mengingat belum bagusnya implementasi
otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial. Bung Karno pernah
berkata bahwa dari lima sila Pancasila jika diperas maka akan menjadi Tri Sila
yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ke-Tuhanan. Dari Tri Sila
tersebut jika diperas lagi maka akan menjadi satu perkataan yaitu
gotong-royong, dan gotong-royong adalah dasar dari semua sila Pancasila.
Walaupun pada dasarnya kita semua memiliki perberbedaan, namun semua itu harusnya
tidak mengurangi semangat kegotong-royongan dalam membangun bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar