Senin, 03 April 2017

Hukum Administrasi Negara


HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
PENGERTIAN-PENGERTIAN DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A.    PENGERTIAN HUKUM DAN ADMINISTRASI NEGARA
Perubahan paradigma Negara sebagai penjaga malam menjadikan fungsi Negara ikut bergeser, yang semula bertugas bagi keamanan warga negaranya saja selanjutnya juga masuk ke dalam lingkup kesejahteraan warga negaranya (welfare state). Perubahan tersebut menjadikan Negara semakin masuk dalam kehidupan privat warganya, yakni segala kegiatan warga harus didata, dan data tesebut terekam dalam aktifitas pemerintahan yang dikenal dengan sistem administrasi yang bertujuan pencapaian kesejahteraan. Semua itu tentunya membutuhkan satu instrument yang bisa memberikan dasar legalitas Negara untuk melaksanakannya dan terbentuk dalam suatu sistem hukum administrasi Negara (HAN).
Pengertian hukum administrasi negara perlu digali secara mendalam, namun sebelumnya perlu dipahami bahwa hukum administrasi negara terbagi menjadi dua pemaknaan yakni hukum dan administrasi negara.
a). Pengertian Hukum
Hukum dalam kepustakaan sangat banyak, tetapi pada prinsipnya pemahaman tersebut ada yang bersifat sempit dan ada pula yang bersifat luas. Hal tersebut berkaitan dengan sudut pandang pakar yang mengartikannya.
Salah satu pendapat tentang pengertian hukum disampaikan oleh J.C.T Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H. sebagai berikut:
      Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum tertentu.
Sementara itu, pendapat yang tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas disampaikan pula oleh H.M Tirtaatmidjaja, S.H.
      Hukum ialah semua aturan (norms) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda, dan sebagainya.
Sementara itu, Sjachran Basah mengungkap makna mengenai pengertian hukum yang lebih memilih pendekatan fungsi. Menurutnya, dalam hukum, terdapat lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat sebagai berikut.
1.      Direktif: sebagai pengarah dalam membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
2.      Integratif: sebagai pembina kesatuan bangsa.
3.      Stabilitatif: sebagai pemelihara (termasuk hasil-hasil pembangunan) serta penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
4.      Perfektif: sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara ataupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
5.      Korektif: baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
b). Pengertian Administrasi Negara
Menurut Prayudi Atmosudirdjo, Administrasi Negara memiliki fungsi yang lebih luas lagi, yakni melaksanakan dan menyelenggarakan kehendak-kehendak (strategy, policy) serta keputusan-keputusan pemerintah secara nyata (implementasi dan menyelenggarakan undang-undang menurut pasal-pasalnya) sesuai dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang ditetapkan. Untuk memperjelas makna administrasi negara tersebut, Prayudi Atmosudirdjo memerincinya dalam beberapa pengertian administrasi negara yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah sebagai berikut.
1.      Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau sebagai institusi politik (kenegaraan).
2.      Administrasi negara sebagai fungsi atau sebagai aktivitas melayani pemerintah, yakni sebagai kegiatan pemerintah operasional”.
3.      Administrasi negara sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang.
Dari pandangan di atas, sesungguhnya pengertian tentang administrasi negara dapat dilihat dalam dua segi:
1.      administrasi negara sebagai organisasi,
2.      administrasi yang secara khas mengejar tercapainya tujuan yang bersifat kenegaraan (publik) artinya tujuan-tujuan yang ditetapkan undang-undang secara dwigend recht (hukum yang memaksa).[1]
Gerald E. Caiden, sebagaimana dikutip oleh Yeremias T. Keban, menyatakan bahwa di samping periodisasi paradigma administrasi negara, terdapat beberapa aliran dalam administrasi negara yang harus diperhatikan sebagai upaya memahami ilmu administrasi negara. Adapun aliran-aliran tersebut:
1.      aliran proses administratif,
2.      aliran empiris,
3.      aliran perilaku manusia,
4.      aliran analisis birokrasi,
5.      aliran sistem sosial.
6.      aliran pengambilan keputusan,
7.      aliran matematika, dan
8.      aliran integratif.
Yeremias T. Keban kemudian mengemukakan bahwa masing-masing aliran tersebut mempunyai perbedaan atau ciri-ciri yang membedakan antara satu aliran dan lainnya sebagaimana tampak dalam tabel berikut:
No
Aliran
Ciri-ciri
1
Aliran proses administratif
mengandalkan POSDCORB dalam menyukseskan administrasi publik.
2
Aliran empiris
mengandalkan berbagai kasus atau studi praktik administrasi publik yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam menyukseskan administrasi publik dan tidak semata-mata hanya mengandalkan teori dan generalisasi yang telah dihasilkan.
3
Aliran perilaku manusia
memusatkan perhatian pada komunikasi, konflik, motivasi, kepemimpinan, status, dan interaksi sosial karena unsur-unsur ini akan menyukseskan pencapaian tujuan.
4
Aliran analisis birokrasi
memusatkan perhatiannya pada aplikasi prinsip-prinsip birokrasi ala Weber, yang dianggap unggul karena didasarkan rasionalitas yang mengatur struktur dan proses menurut pengetahuan teknis serta efisiensi yang tinggi.
5
Aliran sistem sosial
melihat organisasi sebagai suatu sistem sosial yang bersifat terbuka dan tertutup. Dalam pengembangannya, diperluas menjadi pemahaman terhadap hubungan antara administrasi publik dan masyarakat.
6
Aliran pengambilan keputusan
organisasi agar tidak keliru dalam pembuatan keputusan.
7
Aliran matematika
memanfaatkan model matematika dan statistika sehingga para administrator tidak lagi menggantungkan diri pada cara-cara lama atau tradisional.
8
Aliran integratif
mencoba melakukan konsolidasi berbagai aliran di atas dalam praktik administrasi publik.

Barzelay dan Armajani, sebagaimana dikutip oleh Yeremias T. Keban, dinyatakan adanya pergeseran dari paradigma birokratik menuju paradigma post bureaucratic paradigm.[2] Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara paradigma birokratik dan paradigma posbirokratik seperti teperinci dalam tabel berikut:

Paradigma birokratik
paradigma
post bureaucratic
Menekankan kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol
Menekankan hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk, serta keterikatan terhadap norma
Mengutamakan fungsi, otoritas, dan struktur
Mengutamakan misi, pelayanan, dan hasil akhir (outcome)
Menilai biaya dan menekankan tanggung jawab (responsbility)
Menekankan pemberian nilai (bagi masyarakat), membangun akuntabilitas, dan memperkuat hubungan kerja
Mengutamakan ketaatan pada aturan dan prosedur
Menekankan pemahaman dan penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah serta proses perbaikan yang berkesinambungan
Mengutamakan beroperasinya sistem- sistem administrasi
Menekankan pemisahan antara pelayanan dan kontrol, membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis hasil, serta memperkaya umpan balik

L.J. Van Apeldoorn yang menafsirkan pengertian hukum administrasi negara sebagai segala keseluruhan aturan yang harus diperhatikan oleh setiap pendukung kekuasaan yang diserahi tugas pemerintahan tersebut. Jadi, dalam penafsiran ini, L.J. Van Apeldoorn menitikberatkan hukum administrasi negara lebih pada aturan atau norma yang mengatur kekuasaan negara itu sendiri.
Satu hal yang harus diperhatikan sebagaimana dijelaskan di atas adalah hubungan antara negara dan masyarakat itu hubungan yang istimewa. Karena itu, sesungguhnya hukum administrasi negara bukan hanya merupakan seperangkat aturan, tetapi harus mengatur pula hubungan istimewa tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Logemann dan Utrecht yang melihat dan memaknai hukum administrasi negara sebagai seperangkat norma-norma yang menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus. Pendapat ini didukung oleh J.M. Baron de Gerando yang menyatakan bahwa objek hukum administrasi adalah hal-hal yang secara khusus mengatur hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyat sehingga titik berat objek hukum administrasi negara ada pada hubungan istimewa tersebut sehingga perlu ada dalam norma peraturan.
Pendapat Logeman didasarkan pada kenyataan bahwa terdapat satu hubungan istimewa antara negara dan rakyat. Secara alami, sebenarnya tidak ada hubungan di antara keduanya. Akan tetapi, melalui norma-norma yang terbentuk, terjadilah satu hubungan istimewa antara negara dan rakyatnya yang memungkinkan negara untuk melakukan tindakan-tindakan yang harus dipatuhi oleh rakyat selaku warga negara tersebut.
Pandangan lain yang masih menitikberatkan sekumpulan norma adalah pendapat dari J.H.P. Beltefroid yang memaknai hukum administrasi negara sebagai keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan, badan-badan kenegaraan, dan majelis-majelis pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya. Pandangan J.H.P. Beltefroid ini masih berlandaskan satu hubungan istimewa antara negara dan rakyatnya. Akan tetapi, pandangan ini lebih khusus menitikberatkan adanya jalinan di antara alat-alat pemerintah yang secara bersama dan terkoordinasi dalam satu jalinan untuk melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Para aparat pemerintah tersebut tentu membutuhkan satu perangkat peraturan yang dapat memberi dasar serta arahan (driven) mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan dalam berupaya mencapai tujuan.
Penafsiran yang menekankan sisi norma dan juga semacam manual procedure disampaikan oleh Oppenheim. Ia memberikan penafsiran bahwa hukum administrasi negara merupakan suatu gabungan ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi ataupun rendah apabila badan-badan itu akan menggunakan wewenangnya yang telah diberikan kepadanya oleh hukum tata negara. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pendapat L.J. Van Apeldoorn yang menekankan bahwa makna hukum administrasi negara lebih diartikan sebagai guidance law yang memberi petunjuk pada lembaga-lembaga negara mengenai bagaimana cara menggunakan kewenangan itu dalam praktik kehidupan pemerintahan sehari-hari. Pandangan ini juga didukung oleh Sir W. Ivor Jennings yang menyatakan bahwa hukum administrasi negara sesungguhnya merupakan hukum yang berhubungan dengan administrasi negara. Hukum ini juga menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas yang diemban oleh para pejabat administrasi.
Sementara itu, beberapa pendapat pakar tidak hanya melihat sisi norma, hubungan istimewa, kekuasaan, atau kewenangan, tetapi melihat hukum administrasi negara dari sisi fungsi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirdjo yang menyatakan bahwa hukum administarsi negara merupakan hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi. Dalam pandangan Prayudi, hal tersebut sangat jelas bahwa pengertian HAN lebih ditegaskan sebagai suatu perintah operasi, tetapi sekaligus pengendalian dan pengawasan sehingga pendekatan ini lebih menekankan sisi pendekatan manajerial suatu pemerintahan.
Rangkuman dari perbincangan mengenai pengertian hukum administrasi negara menunjukkan bahwa hukum administrasi negara memiliki ciri-ciri khusus yang meliputi:
1.      Adanya hubungan istimewa antara negara dan warga negara;
2.      Adanya sekumpulan norma yang mengatur kewenangan pejabat atau lembaga negara;
3.      Adanya pejabat-pejabat negara sebagai pelaksana dari perjanjian istimewa tersebut.
B.  SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian sumber hukum secara ringkas merupakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan dan tempat kita dapat menemukan aturan tersebut. Pendek kata, apabila hendak mencari ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum administrasi negara, tempat tersebut merupakan sumber hukum administrasi negara.
Sumber hukum formil dari hukum administrasi negara pada hakikatnya bisa dalam bentuk tertulis, tetapi juga dapat berbentuk tidak tertulis. Secara umum, sumber hukum formil tersebut dapat berbentuk:
1.      Perundangan tertulis,
Perundangan tertulis merupakan sumber utama bagi ketentuan dalam hukum administrasi negara. Hal ini merupakan ketentuan yang bersifat positif dan mempunyai daya paksa yang paling kuat dibandingkan dengan sumber hukum lainnya.
Dalam ketatanegaraan Indonesia, tata urutan perundangan diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyusun stratifikasi perundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 peraturan tersebut:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      ketetapan majelis permusyawaratan rakyat; peraturan pemerintah; 
c.       undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
d.      peraturan pemerintah;
e.       peraturan presiden;
f.       peraturan daerah provinsi; dan
g.      peraturan daerah kabupaten/kota.

2.      Yurisprudensi,
Sumber hukum yurisprudensi pada dasarnya merupakan putusan dari hakim-hakim tata usaha negara yang terdahulu dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kemudian oleh hakim yang lain digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum untuk memutus suatu perkara yang sama. Alasan lainnya bagi hakim yang menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum adalah alasan kepraktisan. Artinya, hakim merasa bahwa akan lebih praktis dan mudah untuk menggunakan pertimbangan hakim yang lalu serta telah memeriksa suatu perkara yang sama daripada hakim tersebut bersusah payah mencari dan berusaha menemukan hukum baru sendiri. Tentu akan lebih mudah menggunakan putusan yang sudah ada dan sudah berkekuatan hukum tetap.

3.      Kebiasaan (konvensi)
Hukum modern yang berkembang dalam ketentuan-ketentuan normatif ternyata tidak cukup untuk mengakomodasi segala perkembangan yang dibutuhkan dalam praktik. Oleh karena itu, kehidupan administrasi negara secara alamiah selalu berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Salah satu pemenuhan terhadap pengaturan dalam kehidupan administrasi negara sehari-hari adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktik keseharian. Kebiasaan-kebiasaan ini bahkan justru mengisi hal-hal yang selama ini tidak diatur dalam hukum administrasi negara formal.
4.      Traktat/perjanjian
Luas cakupan hukum administrasi negara saat ini tidak lagi sekadar mengatur hal-hal yang sifatnya nasional ataupun lokal. Akan tetapi, luas cakupannya sudah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara satu negara dan negara lainnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari globalisasi yang mendorong kerja sama antarnegara. Bahkan, lebih dari beberapa negara secara bersama saling mengatur kerja sama di antara mereka. Untuk itulah, salah satu sumber hukum dalam hukum administrasi negara saat ini adalah traktat, yakni perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih yang mengatur sesuatu hal. Menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin suatu traktat dapat mengikat warga negara kedua belah negara yang menandatangani traktat tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan ini, yaitu adanya satu prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan prinsip pacta sunt servanda. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa setiap traktat yang dibuat oleh dua negara atau lebih secara otomatis mengikat pula warga negara dari negara yang menandatangani traktat tersebut. Daya ikat traktat terhadap warga negara tersebut dapat terjadi, mengingat traktat yang dibuat oleh kedua belah negara tersebut setelah diratifikasi diberikan bentuk hukum, baik berupa undang-undang maupun bentuk lainnya, sesuai tingkatan hukum yang akan digunakan. Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
5.      Doktrin atau pendapat ahli
Salah satu sumber dari hukum administrasi negara yang sangat berkembang saat ini dalah doktrin, yakni pendapat para ahli hukum terkemuka yang digunakan oleh para hakim sebagai bahan pertimbangan dalam putusan suatu perkara yang sedang ditanganinya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa doktrin tersebut dapat menjadi sumber hukum sesungguhnya melalui yurisprudensi.
C.    PENGERTIAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
            Penggunaan istilah hukum administrasi Negara diketengahkan oleh Utrecht meskipun pada mulanya menggunakan istilah hukum tata usaha Indonesia dan kemudian hukum tata usaha Negara Indonesia. Penggunaan istilah hukum administrasi Negara tersebut kemudian juga disepakati oleh rapat staf dosen fakultas hukum negeri seluruh Indonesia pada Maret 1973 di Cirebon, hal itu dilandasi pemikiran bahwa istilah tersebut lebih luas dan sesuai dengan iklim perkembangan hukum Indonesia.
            Meski demikian, penggunaan istilah hukum administrasi Negara tersebut tidaklah bersifat mutlak, absolut ataupun final. Ini terbukti dari masih adanya perbedaan mencolok diantara para pakar, yang sangat bergantung pada sudut pandang dan luas wilayah yang dibicarakan dalam hukum administrasi Negara. Perkembangan penggunaan istilah hukum administrasi Negara, hukum tata usaha Negara, atau apapun istilah yang digunakan menunjukkan bahwa istilah tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan dari kehidupan bernegara itu.
            Ada beberapa pakar yang melihat hukum administrasi sebagai sekumpulan norma, salah satunya adalah L.J. Van Apeldoorn yang menafsirkan pengertian hukum administrasi Negara sebagai segala keseluruhan aturan yang harus diperhatikan oleh setiap pendukung kekuasaan yang diserahi tugas pemerintahan tersebut. Inti penafsiran ini adalah aturan atau norma yang mengatur kekuasaan Negara itu sendiri.
            Satu hal yang harus diperhatikan sebagaimana dijelaskan di atas adalah hubungan antara Negara dan masyarakat itu adalah hubungan yang istimewa. Karena itu sesungguhnya hukum administrasi Negara bukan hanya merupakan seperangkat aturan, tetapi harus mengatur pula hubungan istimewa tersebut. Sesuai dengan pendapat Logemann dan Utrecht yang melihat dan memaknai hukum administrasi Negara sebagai seperangkat norma-norma yang menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus.
            Pendapat di atas relevan dengan apa yang dikemukakan oleh J.M. Baron de Gerando yaitu hukum administrasi Negara adalah hal-hal yang secara khusus mengatur hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyat sehingga titik berat objek hukum administrasi Negara ada pada hubungan istimewa tersebut sehingga perlu ada dalam norma peraturan.
Pandangan lain yang masih menitikberatkan sekumpulan norma adalah pendapat dari J.H.P. Beltefroid yang memaknai hukum administrasi negara sebagai keseluruhan aturan-aturan tentang cara bagaimana alat-alat pemerintahan, badan-badan kenegaraan, dan majelis-majelis pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya. Pandangan J.H.P. Beltefroid ini masih berlandaskan satu hubungan istimewa antara negara dan rakyatnya. Akan tetapi, pandangan ini lebih khusus menitikberatkan adanya jalinan di antara alat-alat pemerintah yang secara bersama dan terkoordinasi dalam satu jalinan untuk melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Para aparat pemerintah tersebut tentu membutuhkan satu perangkat peraturan yang dapat memberi dasar serta arahan (driven) mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan dalam berupaya mencapai tujuan.
Penafsiran yang menekankan sisi norma dan juga semacam manual procedure disampaikan oleh Oppenheim. Ia memberikan penafsiran bahwa hukum administrasi negara merupakan suatu gabungan ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi ataupun rendah apabila badan-badan itu akan menggunakan wewenangnya yang telah diberikan kepadanya oleh hukum tata negara. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pendapat L.J. Van Apeldoorn yang menekankan bahwa makna hukum administrasi negara lebih diartikan sebagai guidance law yang memberi petunjuk pada lembaga-lembaga negara mengenai bagaimana cara menggunakan kewenangan itu dalam praktik kehidupan pemerintahan sehari-hari. Pandangan ini juga didukung oleh Sir W. Ivor Jennings yang menyatakan bahwa hukum administrasi negara sesungguhnya merupakan hukum yang berhubungan dengan administrasi negara. Hukum ini juga menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas yang diemban oleh para pejabat administras
            Sementara itu, beberapa pakar lain tidak hanya melihat sisi norma, hubungan istimewa, kekuasaan atau kewenangan, tetapi melihat hukum administrasi Negara dari sisi fungsi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo yang menyatakan bahwa hukum administrasi Negara merupakan hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa penguasa administrasi. Dalam pandangan Prajudi, hal tersebut sangat jelas bahwa pengertian hukum administrasi Negara lebih ditegaskan sebagai suatu perintah operasi, tetapi sekaligus pengendalian dan pengawasan sehingga pendekatan ini lebih menekankan sisi pendekatan manajerial suatu pemerintahan.
            Adapun Bachsan Mustofa lebih melihat hukum administrasi Negara sebagai bagian kecil dari unsur manajerial, yakni unsur pelaku. Hal itu sesuai dengan pernyataannya bahwa hukum administrasi Negara merupakan suatu gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat serta yang diserahi tugas melakukan sebagian pekerjaan pemerintahan dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman. Bachsan lebih melihat bahwa administrasi Negara merupakan bagian yang dikelola oleh gabungan jabatan eksekutif dan bukan yang masuk wilayah yudikatif ataupun legislatif.  
            Rangkuman dari perbincangan mengenai pengertian hukum administrasi negara menunjukkan bahwa hukum administrasi negara memiliki ciri-ciri khusus yang meliputi:
4.      Adanya hubungan istimewa antara negara dan warga negara;
5.      Adanya sekumpulan norma yang mengatur kewenangan pejabat atau lembaga negara;
6.      Adanya pejabat-pejabat negara sebagai pelaksana dari perjanjian istimewa tersebut.




       [1] Philipus Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia (Jogyakarta, Gadjahmada Press, 1994), hlm. 26.
       [2] Ibid., hlm. 33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar