HUKUM ADMINISTRASI
NEGARA
PENGERTIAN-PENGERTIAN
DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A.
PENGERTIAN HUKUM DAN ADMINISTRASI NEGARA
Perubahan paradigma Negara sebagai penjaga malam
menjadikan fungsi Negara ikut bergeser, yang semula bertugas bagi keamanan
warga negaranya saja selanjutnya juga masuk ke dalam lingkup kesejahteraan
warga negaranya (welfare state).
Perubahan tersebut menjadikan Negara semakin masuk dalam kehidupan privat
warganya, yakni segala kegiatan warga harus didata, dan data tesebut terekam
dalam aktifitas pemerintahan yang dikenal dengan sistem administrasi yang
bertujuan pencapaian kesejahteraan. Semua itu tentunya membutuhkan satu
instrument yang bisa memberikan dasar legalitas Negara untuk melaksanakannya
dan terbentuk dalam suatu sistem hukum administrasi Negara (HAN).
Pengertian hukum administrasi negara
perlu digali secara mendalam, namun sebelumnya perlu dipahami bahwa hukum
administrasi negara terbagi menjadi dua pemaknaan yakni hukum dan administrasi
negara.
a). Pengertian Hukum
Hukum dalam kepustakaan sangat banyak,
tetapi pada
prinsipnya pemahaman tersebut ada yang bersifat sempit dan ada pula yang
bersifat luas. Hal tersebut berkaitan dengan sudut pandang pakar yang
mengartikannya.
Salah satu pendapat tentang
pengertian hukum disampaikan oleh J.C.T Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H. sebagai berikut:
Hukum itu ialah peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibatkan diambilnya tindakan,
yaitu dengan hukum tertentu.
Sementara itu, pendapat yang tidak jauh berbeda
dengan pendapat di atas disampaikan pula oleh H.M Tirtaatmidjaja, S.H.
Hukum ialah semua aturan (norms)
yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup
dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya,
didenda,
dan sebagainya.
Sementara itu,
Sjachran Basah mengungkap makna mengenai pengertian hukum yang lebih memilih pendekatan fungsi. Menurutnya,
dalam hukum, terdapat lima fungsi hukum dalam kaitannya
dengan kehidupan masyarakat sebagai berikut.
1.
Direktif: sebagai pengarah dalam membentuk masyarakat yang
hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
2.
Integratif: sebagai pembina kesatuan bangsa.
3.
Stabilitatif: sebagai pemelihara (termasuk hasil-hasil pembangunan)
serta penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
4.
Perfektif: sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan
administrasi negara ataupun sikap
tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
5. Korektif: baik terhadap warga negara maupun
administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
b). Pengertian Administrasi Negara
Menurut Prayudi Atmosudirdjo,
Administrasi Negara memiliki fungsi yang lebih luas lagi, yakni melaksanakan
dan menyelenggarakan kehendak-kehendak (strategy, policy) serta
keputusan-keputusan pemerintah secara nyata (implementasi dan menyelenggarakan undang-undang
menurut pasal-pasalnya) sesuai dengan peraturan-peraturan pelaksanaan yang
ditetapkan. Untuk memperjelas makna administrasi negara tersebut, Prayudi
Atmosudirdjo memerincinya dalam beberapa pengertian administrasi negara yang
terkait dengan pelaksanaan kebijakan pemerintah sebagai berikut.
1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau sebagai institusi
politik (kenegaraan).
2. Administrasi negara sebagai “fungsi” atau sebagai aktivitas melayani pemerintah, yakni sebagai kegiatan “pemerintah operasional”.
3.
Administrasi negara sebagai proses
teknis penyelenggaraan undang-undang.
Dari pandangan di atas, sesungguhnya pengertian tentang
administrasi negara dapat dilihat dalam dua segi:
1. administrasi
negara sebagai organisasi,
2.
administrasi yang secara khas mengejar tercapainya
tujuan yang bersifat kenegaraan (publik) artinya tujuan-tujuan yang ditetapkan
undang-undang secara dwigend recht (hukum yang memaksa).[1]
Gerald E. Caiden, sebagaimana dikutip oleh
Yeremias T. Keban, menyatakan bahwa di samping periodisasi paradigma administrasi
negara, terdapat beberapa aliran dalam administrasi negara yang harus
diperhatikan sebagai upaya memahami ilmu administrasi negara. Adapun aliran-aliran tersebut:
1. aliran proses
administratif,
2. aliran empiris,
3. aliran perilaku
manusia,
4. aliran analisis
birokrasi,
5. aliran sistem sosial.
6. aliran
pengambilan keputusan,
7. aliran matematika, dan
8. aliran
integratif.
Yeremias T. Keban kemudian mengemukakan bahwa
masing-masing aliran tersebut mempunyai perbedaan atau ciri-ciri yang
membedakan antara satu aliran dan lainnya sebagaimana tampak dalam tabel
berikut:
No
|
Aliran
|
Ciri-ciri
|
1
|
Aliran proses administratif
|
mengandalkan POSDCORB
dalam menyukseskan administrasi publik.
|
2
|
Aliran empiris
|
mengandalkan berbagai
kasus atau studi praktik administrasi publik yang dapat digunakan sebagai
pegangan dalam menyukseskan administrasi publik dan tidak semata-mata hanya
mengandalkan teori dan generalisasi yang telah dihasilkan.
|
3
|
Aliran perilaku manusia
|
memusatkan perhatian
pada komunikasi, konflik, motivasi, kepemimpinan, status, dan interaksi sosial karena
unsur-unsur ini akan menyukseskan pencapaian tujuan.
|
4
|
Aliran analisis birokrasi
|
memusatkan perhatiannya
pada aplikasi prinsip-prinsip birokrasi ala Weber, yang dianggap unggul
karena didasarkan rasionalitas yang mengatur struktur dan proses menurut
pengetahuan teknis serta efisiensi yang tinggi.
|
5
|
Aliran sistem sosial
|
melihat organisasi
sebagai suatu sistem sosial yang bersifat terbuka dan tertutup. Dalam pengembangannya, diperluas menjadi pemahaman
terhadap hubungan antara administrasi publik dan masyarakat.
|
6
|
Aliran pengambilan keputusan
|
organisasi agar tidak
keliru dalam pembuatan keputusan.
|
7
|
Aliran matematika
|
memanfaatkan model
matematika dan statistika sehingga para administrator tidak lagi
menggantungkan diri pada cara-cara lama atau tradisional.
|
8
|
Aliran integratif
|
mencoba melakukan
konsolidasi berbagai aliran di atas dalam praktik administrasi publik.
|
Barzelay dan Armajani, sebagaimana
dikutip oleh Yeremias T. Keban, dinyatakan adanya pergeseran dari paradigma
birokratik menuju paradigma post
bureaucratic paradigm.[2] Terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara paradigma birokratik dan paradigma posbirokratik seperti teperinci dalam tabel berikut:
Paradigma
birokratik
|
paradigma
post bureaucratic
|
Menekankan kepentingan publik, efisiensi,
administrasi, dan kontrol
|
Menekankan hasil yang berguna bagi masyarakat,
kualitas dan nilai, produk, serta keterikatan terhadap norma
|
Mengutamakan fungsi, otoritas, dan struktur
|
Mengutamakan misi, pelayanan, dan
hasil akhir (outcome)
|
Menilai biaya dan menekankan tanggung
jawab (responsbility)
|
Menekankan pemberian nilai (bagi
masyarakat), membangun akuntabilitas, dan memperkuat hubungan kerja
|
Mengutamakan ketaatan pada aturan dan prosedur
|
Menekankan pemahaman dan penerapan norma-norma,
identifikasi dan pemecahan masalah serta proses perbaikan yang
berkesinambungan
|
Mengutamakan beroperasinya sistem- sistem
administrasi
|
Menekankan pemisahan antara pelayanan dan kontrol,
membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,
mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis
hasil, serta memperkaya umpan balik
|
L.J. Van Apeldoorn yang menafsirkan
pengertian hukum administrasi negara sebagai segala keseluruhan aturan yang
harus diperhatikan oleh setiap pendukung kekuasaan yang diserahi tugas
pemerintahan tersebut. Jadi, dalam penafsiran ini, L.J. Van Apeldoorn menitikberatkan
hukum administrasi negara lebih pada aturan atau norma yang mengatur kekuasaan
negara itu sendiri.
Satu hal yang harus diperhatikan
sebagaimana dijelaskan di atas adalah hubungan antara negara dan masyarakat itu hubungan yang istimewa. Karena itu, sesungguhnya hukum administrasi
negara bukan hanya merupakan seperangkat aturan, tetapi harus mengatur pula hubungan
istimewa tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Logemann dan Utrecht
yang melihat dan memaknai hukum administrasi negara sebagai seperangkat
norma-norma yang menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan untuk
memungkinkan para pejabat administrasi negara melakukan tugas mereka yang
khusus. Pendapat ini didukung oleh J.M. Baron de Gerando yang menyatakan bahwa
objek hukum administrasi adalah hal-hal yang secara khusus mengatur hubungan timbal balik
antara pemerintah dan rakyat sehingga titik berat objek hukum administrasi negara ada pada hubungan
istimewa tersebut sehingga perlu ada dalam norma peraturan.
Pendapat Logeman didasarkan pada
kenyataan bahwa terdapat satu hubungan istimewa antara negara dan rakyat. Secara alami, sebenarnya tidak ada
hubungan di antara keduanya. Akan tetapi, melalui norma-norma yang terbentuk,
terjadilah satu hubungan istimewa antara negara dan rakyatnya yang memungkinkan
negara untuk melakukan tindakan-tindakan yang harus dipatuhi oleh rakyat selaku
warga negara tersebut.
Pandangan lain yang masih
menitikberatkan sekumpulan norma adalah pendapat dari J.H.P. Beltefroid yang
memaknai hukum administrasi negara sebagai keseluruhan aturan-aturan tentang
cara bagaimana alat-alat pemerintahan, badan-badan kenegaraan, dan majelis-majelis pengadilan tata
usaha hendak memenuhi tugasnya. Pandangan J.H.P. Beltefroid ini masih berlandaskan satu hubungan istimewa
antara negara dan rakyatnya. Akan tetapi, pandangan ini lebih khusus
menitikberatkan adanya jalinan di antara alat-alat pemerintah yang secara bersama dan terkoordinasi dalam satu jalinan untuk
melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Para aparat pemerintah tersebut tentu
membutuhkan satu perangkat peraturan yang dapat memberi dasar serta arahan (driven) mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan dalam berupaya
mencapai tujuan.
Penafsiran yang menekankan sisi norma
dan juga semacam manual procedure
disampaikan oleh Oppenheim. Ia memberikan penafsiran bahwa hukum
administrasi negara merupakan suatu gabungan ketentuan yang mengikat
badan-badan yang tinggi ataupun rendah apabila badan-badan itu akan menggunakan
wewenangnya yang telah diberikan kepadanya oleh hukum tata negara. Pandangan
ini tidak jauh berbeda dengan pendapat L.J. Van Apeldoorn yang menekankan bahwa
makna hukum administrasi negara lebih diartikan sebagai guidance law yang memberi petunjuk pada lembaga-lembaga negara
mengenai bagaimana cara menggunakan kewenangan itu dalam praktik kehidupan
pemerintahan sehari-hari. Pandangan ini juga didukung oleh Sir W. Ivor Jennings
yang menyatakan bahwa hukum administrasi negara sesungguhnya merupakan
hukum yang berhubungan dengan administrasi negara. Hukum ini juga menentukan organisasi
kekuasaan dan tugas-tugas yang diemban oleh para pejabat administrasi.
Sementara itu, beberapa pendapat pakar tidak hanya
melihat sisi norma, hubungan istimewa, kekuasaan, atau kewenangan, tetapi melihat hukum administrasi
negara dari sisi fungsi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirdjo
yang menyatakan bahwa hukum administarsi negara merupakan hukum mengenai
operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan
terhadap penguasa-penguasa administrasi. Dalam pandangan Prayudi, hal tersebut sangat jelas bahwa pengertian HAN
lebih ditegaskan sebagai suatu perintah operasi, tetapi sekaligus pengendalian dan
pengawasan sehingga pendekatan ini lebih menekankan sisi pendekatan manajerial suatu
pemerintahan.
Rangkuman dari perbincangan mengenai pengertian hukum administrasi negara menunjukkan
bahwa hukum administrasi negara memiliki ciri-ciri khusus yang meliputi:
1. Adanya hubungan istimewa antara negara dan warga negara;
2. Adanya sekumpulan norma yang mengatur kewenangan pejabat atau lembaga negara;
3.
Adanya
pejabat-pejabat negara sebagai pelaksana dari perjanjian istimewa tersebut.
B. SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian sumber hukum secara
ringkas merupakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan dan tempat kita
dapat menemukan aturan tersebut. Pendek kata, apabila hendak mencari
ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum administrasi negara, tempat tersebut
merupakan sumber hukum administrasi negara.
Sumber hukum formil dari hukum administrasi negara pada hakikatnya bisa dalam bentuk tertulis, tetapi juga dapat berbentuk tidak
tertulis. Secara umum, sumber hukum formil tersebut
dapat berbentuk:
1. Perundangan tertulis,
Perundangan tertulis merupakan sumber utama bagi
ketentuan dalam hukum administrasi negara. Hal ini merupakan ketentuan yang bersifat
positif dan mempunyai daya paksa yang paling kuat dibandingkan dengan sumber
hukum lainnya.
Dalam ketatanegaraan Indonesia, tata urutan
perundangan diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 2011 yang menyusun stratifikasi
perundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 peraturan tersebut:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. ketetapan
majelis permusyawaratan rakyat; peraturan pemerintah;
c. undang-undang/peraturan
pemerintah pengganti undang-undang;
d. peraturan
pemerintah;
e. peraturan
presiden;
f. peraturan daerah
provinsi; dan
g.
peraturan daerah kabupaten/kota.
2. Yurisprudensi,
Sumber hukum yurisprudensi pada dasarnya merupakan
putusan dari hakim-hakim tata usaha negara yang terdahulu dan sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde), kemudian oleh hakim yang lain digunakan sebagai dasar
pertimbangan hukum untuk memutus suatu perkara yang sama. Alasan lainnya bagi
hakim yang menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum adalah alasan kepraktisan. Artinya, hakim merasa bahwa akan
lebih praktis dan mudah untuk menggunakan pertimbangan hakim yang lalu serta
telah memeriksa suatu perkara yang sama daripada hakim tersebut bersusah payah
mencari dan berusaha menemukan hukum baru sendiri. Tentu akan lebih mudah menggunakan
putusan yang sudah ada dan sudah berkekuatan hukum tetap.
3.
Kebiasaan (konvensi)
Hukum modern yang berkembang dalam ketentuan-ketentuan
normatif ternyata tidak cukup untuk mengakomodasi segala perkembangan yang dibutuhkan
dalam praktik. Oleh karena itu, kehidupan administrasi negara secara alamiah selalu berusaha memenuhi
kebutuhannya sendiri. Salah satu pemenuhan terhadap pengaturan dalam kehidupan
administrasi negara sehari-hari adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan yang
timbul dalam praktik keseharian. Kebiasaan-kebiasaan ini bahkan justru mengisi hal-hal yang
selama ini tidak diatur dalam hukum administrasi negara formal.
4.
Traktat/perjanjian
Luas cakupan hukum administrasi negara saat ini tidak lagi
sekadar mengatur hal-hal yang sifatnya nasional ataupun lokal.
Akan tetapi, luas cakupannya sudah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan antara satu negara dan negara lainnya. Hal ini sebagai konsekuensi
dari globalisasi yang mendorong kerja sama antarnegara. Bahkan, lebih dari beberapa negara secara
bersama saling mengatur kerja sama di antara mereka. Untuk itulah, salah satu sumber hukum dalam hukum
administrasi negara saat ini adalah traktat, yakni perjanjian yang dibuat
antara dua negara atau lebih yang mengatur sesuatu hal. Menjadi pertanyaan adalah bagaimana
mungkin suatu traktat dapat mengikat warga negara kedua belah negara yang
menandatangani traktat tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan ini,
yaitu adanya satu
prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan prinsip pacta sunt servanda. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa setiap
traktat yang dibuat oleh dua negara atau lebih secara otomatis mengikat pula
warga negara dari negara yang menandatangani traktat tersebut. Daya ikat
traktat terhadap warga negara tersebut dapat terjadi, mengingat traktat yang dibuat
oleh kedua belah negara tersebut setelah diratifikasi diberikan bentuk hukum,
baik berupa undang-undang maupun bentuk lainnya, sesuai tingkatan hukum yang
akan digunakan. Hal tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
5. Doktrin atau
pendapat ahli
Salah satu sumber dari hukum
administrasi negara yang sangat berkembang saat ini dalah doktrin, yakni
pendapat para ahli hukum terkemuka yang digunakan oleh para hakim sebagai bahan
pertimbangan dalam putusan suatu perkara yang sedang ditanganinya.
Karena itu, dapat
dikatakan bahwa doktrin tersebut dapat menjadi sumber hukum sesungguhnya melalui yurisprudensi.
C. PENGERTIAN
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Penggunaan istilah hukum
administrasi Negara diketengahkan oleh Utrecht meskipun pada mulanya
menggunakan istilah hukum tata usaha Indonesia dan kemudian hukum tata usaha
Negara Indonesia. Penggunaan istilah hukum administrasi Negara tersebut
kemudian juga disepakati oleh rapat staf dosen fakultas hukum negeri seluruh
Indonesia pada Maret 1973 di Cirebon, hal itu dilandasi pemikiran bahwa istilah
tersebut lebih luas dan sesuai dengan iklim perkembangan hukum Indonesia.
Meski demikian, penggunaan istilah
hukum administrasi Negara tersebut tidaklah bersifat mutlak, absolut ataupun
final. Ini terbukti dari masih adanya perbedaan mencolok diantara para pakar,
yang sangat bergantung pada sudut pandang dan luas wilayah yang dibicarakan
dalam hukum administrasi Negara. Perkembangan penggunaan istilah hukum
administrasi Negara, hukum tata usaha Negara, atau apapun istilah yang
digunakan menunjukkan bahwa istilah tersebut berkembang sejalan dengan
perkembangan dari kehidupan bernegara itu.
Ada beberapa pakar yang melihat
hukum administrasi sebagai sekumpulan norma, salah satunya adalah L.J. Van
Apeldoorn yang menafsirkan pengertian hukum administrasi Negara sebagai segala
keseluruhan aturan yang harus diperhatikan oleh setiap pendukung kekuasaan yang
diserahi tugas pemerintahan tersebut. Inti penafsiran ini adalah aturan atau
norma yang mengatur kekuasaan Negara itu sendiri.
Satu hal yang harus diperhatikan
sebagaimana dijelaskan di atas adalah hubungan antara Negara dan masyarakat itu
adalah hubungan yang istimewa. Karena itu sesungguhnya hukum administrasi
Negara bukan hanya merupakan seperangkat aturan, tetapi harus mengatur pula
hubungan istimewa tersebut. Sesuai dengan pendapat Logemann dan Utrecht yang
melihat dan memaknai hukum administrasi Negara sebagai seperangkat norma-norma
yang menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para
pejabat administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus.
Pendapat di atas relevan dengan apa
yang dikemukakan oleh J.M. Baron de Gerando yaitu hukum administrasi Negara
adalah hal-hal yang secara khusus mengatur hubungan timbal balik antara
pemerintah dan rakyat sehingga titik berat objek hukum administrasi Negara ada
pada hubungan istimewa tersebut sehingga perlu ada dalam norma peraturan.
Pandangan lain yang masih
menitikberatkan sekumpulan norma adalah pendapat dari J.H.P. Beltefroid yang
memaknai hukum administrasi negara sebagai keseluruhan aturan-aturan tentang
cara bagaimana alat-alat pemerintahan, badan-badan kenegaraan, dan majelis-majelis pengadilan tata
usaha hendak memenuhi tugasnya. Pandangan J.H.P. Beltefroid ini masih berlandaskan satu hubungan istimewa
antara negara dan rakyatnya. Akan tetapi, pandangan ini lebih khusus
menitikberatkan adanya jalinan di antara alat-alat pemerintah yang secara bersama dan terkoordinasi dalam satu jalinan untuk
melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Para aparat pemerintah tersebut tentu
membutuhkan satu perangkat peraturan yang dapat memberi dasar serta arahan (driven) mengenai tindakan apa yang seharusnya dilakukan dalam berupaya
mencapai tujuan.
Penafsiran yang
menekankan sisi norma dan juga semacam manual
procedure disampaikan oleh Oppenheim. Ia memberikan penafsiran bahwa hukum
administrasi negara merupakan suatu gabungan ketentuan yang mengikat
badan-badan yang tinggi ataupun rendah apabila badan-badan itu akan menggunakan
wewenangnya yang telah diberikan kepadanya oleh hukum tata negara. Pandangan
ini tidak jauh berbeda dengan pendapat L.J. Van Apeldoorn yang menekankan bahwa
makna hukum administrasi negara lebih diartikan sebagai guidance law yang memberi petunjuk pada lembaga-lembaga negara
mengenai bagaimana cara menggunakan kewenangan itu dalam praktik kehidupan
pemerintahan sehari-hari. Pandangan ini juga didukung oleh Sir W. Ivor Jennings
yang menyatakan bahwa hukum administrasi negara sesungguhnya merupakan
hukum yang berhubungan dengan administrasi negara. Hukum ini juga menentukan organisasi
kekuasaan dan tugas-tugas yang diemban oleh para pejabat administras
Sementara itu, beberapa
pakar lain tidak hanya melihat sisi norma, hubungan istimewa, kekuasaan atau
kewenangan, tetapi melihat hukum administrasi Negara dari sisi fungsi. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo yang menyatakan bahwa hukum
administrasi Negara merupakan hukum mengenai operasi dan pengendalian dari
kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa penguasa
administrasi. Dalam pandangan Prajudi, hal tersebut sangat jelas bahwa
pengertian hukum administrasi Negara lebih ditegaskan sebagai suatu perintah
operasi, tetapi sekaligus pengendalian dan pengawasan sehingga pendekatan ini
lebih menekankan sisi pendekatan manajerial suatu pemerintahan.
Adapun Bachsan Mustofa lebih melihat
hukum administrasi Negara sebagai bagian kecil dari unsur manajerial, yakni
unsur pelaku. Hal itu sesuai dengan pernyataannya bahwa hukum administrasi
Negara merupakan suatu gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun
secara bertingkat serta yang diserahi tugas melakukan sebagian pekerjaan
pemerintahan dalam arti luas yang tidak diserahkan pada badan-badan pembuat
undang-undang dan badan-badan kehakiman. Bachsan lebih melihat bahwa
administrasi Negara merupakan bagian yang dikelola oleh gabungan jabatan
eksekutif dan bukan yang masuk wilayah yudikatif ataupun legislatif.
Rangkuman dari perbincangan mengenai pengertian hukum administrasi negara menunjukkan
bahwa hukum administrasi negara memiliki ciri-ciri khusus yang meliputi:
4. Adanya hubungan istimewa antara negara dan warga negara;
5. Adanya sekumpulan norma yang mengatur kewenangan pejabat atau lembaga negara;
6.
Adanya
pejabat-pejabat negara sebagai pelaksana dari perjanjian istimewa tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar